Total Tayangan Halaman

Sabtu, 02 Juli 2011

Enjoy Menulis Humor


Bebas … lepas … tak ada beban di hatiku
melayang ku … melayang jauh …
melayang ku … melayang jauh …
 
Seperti bait syair lagu dari Iwa K. diatas itu lah rasa nya kalau saya sedang asyik menulis tulisan atau cerita humor. Buat sebagian orang cerita humor itu bisa menyenangkan dan untuk sebagian orang lain nya cerita humor itu bisa menyakitkan.
Masa sih ada orang yang gak suka humor ?, Jujur saja saya gak percaya. Humor mungkin dianggap sebagai sampah atau barang yang tak berguna dan tulisan atau cerita humor pun hanya di anggap angin lalu atau cerita basa basi saja.
Buat saya menulis apapun adalah persoalan SERIUS. Begitu juga menulis cerita humor butuh keseriusan ekstra, disatu sisi kita mesti bisa menulis sebuah tulisan atau cerita yang maksud dan tujuan dari cerita tersebut bisa sampai kepada pembaca. Disisi lain sebagai tulisan atau cerita humor wajib membuat si pembaca nya tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal sampai terkencing-kencing di celana, atau minimal si pembaca nya tersenyum-senyum, sambil mengumpat : gila!, gila!, gokil juga nih cerita! atau gokil juga nih yang nulis !.
Kalau si pembaca setelah membaca tulisan atau cerita humor saya, dia tersenyum-senyum sambil bilang lucu. Misi keberhasilan cerita humor itu buat saya baru mencapai 50 % saja tapi kalau si pembaca tersenyum-senyum sambil mengumpat : gila nih !, atau hmmm aneh?!, atau norak banget nih tulisan!, atau yang nulis sakit kali?!, Hehehehe … misi saya menulis humor berarti : BERHASIL.
Menulis tulisan atau cerita Humor buat saya adalah : Melihat atau memandang sesuatu Keadaan, Masalah atau Seseorang dengan sudut pandang yang berbeda dengan orang lain. Dengan menggunakan SATIRE atau gaya bahasa sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk Sarkasme, Ironi dan Parodi.
Dengan SARKASME , saya menulis tulisan atau cerita humor dengan cara menyindir atau menyinggung seseorang dengan gaya bahasa yang Kasar tapi tetap lucu dan terkesan konyol serta sopan dan santun tetap di junjung tinggi. Dengan Sarkasme pula, akhirnya saya bisa mengekspresikan Kekesalan dan Kemarahan saya melihat keadaan yang ada di depan mata saya.  Seperti yang pernah saya tulis di Kompasiana : Bosan, Aku Caci Maki Kamu !

Fyodor Dostoyevsky, seorang sastrawan Rusia : mendefinisikan Sarkasme sebagai “pelarian terakhir dari orang-orang berjiwa bersahaja dan murni ketika rasa pribadi jiwa mereka secara kasar dan paksa dimasuki (terusik). (sumber : Wikipedia Indonesia)
Dengan Ironi, saya menuliskan tulisan atau cerita humor dengan menggunakan sindiran halus untuk menggambarkan sebuah keadaan.  Contoh tulisan saya adalah : Si Kancil Mencuri Ketimun, Kok Pak Tani nya gak marah ?.
Dengan Parodi, sya bisa memplesetkan sesuatu dari mulai foto profil saya sampai sebuah judul yang tidak berhubungan dengan maksud dan tujuan cerita tersebut disampaikan dengan cara yang lucu dan dengan gaya bahasa Satire. Contoh tulisan saya untuk jenis Parodi ini adalah : Sengaja Aku ganti foto profilku dan Tips Menghilangkan Bau Jengkol Dan Pete.
Berbagai cara orang untuk berekspresi. Dan saya lebih enjoy dengan cara menulis tulisan atau cerita HUMOR sebagai media ekspresi saya.
Menulis tanpa gaya, Huh, monoton dan membosankan !. Bebas, lepas dan tak ada beban lagi dihati, itulah perasaan yang saya alami setelah saya berhasil merampungkan sebuah tulisan atau cerita HUMOR. Jiwa saya pun melayang, melayangku melayang jauh, melayangku melayang jauh. De Javu.


Bojong Koneng, Cibitung, 30 Agustus 2010


Wans_Sabang



 

Tips Menghilangkan Bau Jengkol dan Pete (Humor)



Jengkol dan Pete, 2 kawan sejoli yang bikin “bau”
Sebuah Humor Yang Membosankan.
Cerita ini merupakan kisah temanku, seorang blogger Kompasiana.
Sebut saja si Boss, seperti itu aku biasa memanggilnya. Si Boss ini sebenarnya adalah teman sekerjaku juga. Kami sama-sama bekerja sebagai buruh tambang dan sama-sama sebagai pengawas pekerja tambang.
Aku memanggilnya Boss, bukan karena ia adalah Boss yang memberi aku upah kerja atau gaji tapi karena hobinya yang suka mentraktir orang lain, terutama aku. Untuk menghormati jasa-jasa baiknya, ya sudah aku panggil saja dia, Boss.
Banyak waktu luang selepas kami bekerja, karena kami tinggal di mess karyawan . Aku dan si Boss tinggal di kamar yang bersebelahan. Biasanya waktu luang itu kami isi dengan face book-an saja di kamar.
Suatu ketika si Boss datang dan melihatku melototin lap top tapi yang dipelototin seuatu hal yang baru buat dia dan bukan face book.
“Hei, apa pula itu ?, tumben gak face book-an ?. Tanya si Boss berdiri di sampingku.
“Face book ?, kuno Boss, sudah basi !.” Jawabku santai. “Ini baru OK !.”
“Kompas ?.” sambil melirik ke lap topku.
“Beda, Boss … ini Kompasiana !, tempat kita bisa saling shering dan konek ke sesama anggota, hasil tulisan Kita langsung mendapatkan atensi dari sesama teman Kompasiana lainnya, Boss … .” Jelasku panjang lebar.
“Cara jadi anggota ?.” Tanya si Boss pura-pura bodoh.
“Tinggal klik aja : REGISTRASI !.” sahutku singkat.
“O…..” Si Boss pun bengong dan aku masih asyik saja menulis dan tidak memperdulikan dia.
“Ya, sudah … nulis aja terus, aku mau ke lokasi tambang dulu !.” Kata si Boss sambil pergi kerja.
Sejak pertemuan itu aku dan si Boss jarang ngobrol-ngobrol lagi, selepas kerja aku dan si Boss masing-masing asyik di kamarnya. Awalnya aku menyangka pasti si Boss masih asyik berkutat dengan face booknya.
Suatu malam, ketika aku selesai memposting tulisanku. Aku pun membaca tulisan dari teman-teman Kompasiana yang lain. Tiba-tiba saja mata ku terpaku pada sebuah judul ” Tips Menghilangkan Bau Jengkol Dan Pete “, aku pun penasaran untuk membukanya. Satu persatu ku baca artikel itu, cukup informatif dan aktual, sebuah penjelasan tentang jengkol dan pete dari sisi sejarah, sosial dan budaya yang lengkap. Aku pun ikut memberikan komen, walau pun cuma mengucapkan terima kasih atas infonya. Dan yang membuat aku tercengang kaget adalah ternyata si penulis artikel itu adalah si Boss temanku itu. Diam-diam ternyata si Boss sudah berganti haluan, dia jadi kecanduan Kompasiana.
Pintu Kamar si Boss, selalu saja tertutup rapat. Aku tidak ingin mengganggu nya. Sejak itu kami semakin jarang bertemu, kecuali pada saat pergantian shift kerja saja antara aku dan si Boss. Selebihnya kami seperti orang yang tak saling kenal saja.
# …………… # ……. …….# ……………. #
Dalam beberapa hari kemudian terjadi hal yang spektakuler, Tulisan si Boss tentang jengkol dan pete itu kok bisa masuk Headline dan aku melihat orang yang sudah membuka atau membaca link itu saja sudah 1000 orang lebih. Benar-benar tidak kusangka. Perasaanku mulai dirambati iri dan cemburu. Aneh tulisan seperti itu saja bisa masuk Headline, banyak dibaca dan dikomen oleh orang lain. Lantas saja, aku menuduh Admin Kompasiana nya yang tidak profesional.
Jam 03:00, selepas aku kerja masuk shift malam. Kulihat pintu kamar si Boss terbuka, secepatnya aku pun masuk. Ruang kamarnya berkabut, dipenuhi asap rokok. Di meja kerja nya nampak komputernya yang masih ON, disampingnya berserakan abu dan puntung rokok. Rupanya asbak yang tersedia tidak mampu lagi menampung puntung dan abu rokok itu. Dan didekat asbak, ada 5 gelas bekas kopi dimana yang satu nya masih sisa setengah gelas.
Ketika aku masuk, si Boss nampak sedang menerawang, segumpal asap keluar dari mulutnya.
“Sukses ya, Boss, tulisan nya masuk Headline dan sekarang sudah jadi orang terkenal di Kompasiana.” Pujiku setinggi langit.
“Hehehehehe … “ Si Boss cuma nyengir kuda saja.
“lagi gak enak hati, Boss?, Sorry, deh kalau gue ganggu.” Aku pun bersiap bangkit untuk meninggalkannya.
“Hehehehehe … gue lagi bingung aja, Wans, Hehehehe ….” Si Boss nyengir lagi.
Aneh kenapa si Boss sekarang lebih sering nyengir ?. Dan ketika kuperhatikan lebih lama, kenapa si Boss muka nya nampak pucat banget ?.
“Sejak tulisan gue, “Tips Menghilangkan Bau Jengkol dan Pete” masuk Headline, gue jadi kurang tidur.” Aku diam saja menanti penjelasan si Boss lebih lanjut. “Terkadang sampai subuh, gue masih ON di Kompasiana, membaca dan membalas komen-komen yang masuk.”
“Lho, bukan nya itu yang dicari oleh setiap penulis, Boss ?, menjadi orang terkenal karena hasil karya tulisnya ?.” Sanggahku pada si Boss. “Dari pada gue, tulisan gue paling cuma di baca 10 sampai 20 orang saja rata-rata, pernah sih sekali sampai dibaca oleh 100 orang lebih, itu pun gue nulis nya sudah mati-matian dan yang gue tulis adalah sesuatu hal yang kontroversial.”
“Ah, kebetulan aja kali.” Jawab si Boss merendah. “Apa sih yang lho pake waktu lho nulis ?.” Tanya si Boss padaku.
“Hati ….” Jawabku ikut merendah juga.
“Nah, itu lah yang salah !.” Tembak si Boss padaku. “Sorry, sorry … bukannya salah tapi gak tepat aja, untuk menulis suatu tulisan yang disukai oleh orang lain ya harus pakai mata, telinga dan otak juga dong !.” Tiba-tiba saja si Boss sudah menguliahi aku tentang menulis.
“Supaya tulisan kita dibaca oleh orang banyak, lho mesti survei pasar dulu !, menurut gue ada 3 kategori penulisan yang diminati banyak orang.”
1. Lihat apa yang dibutuhkan oleh orang banyak, semakin banyak orang butuh, tulisan kita akan semakin di cari dan dikejar-kejar.
2. Kejadian apa yang sedang trend saat ini, lho mesti tangkap cepat tuh berita, jangan sampai keduluan orang lain. Kalau lho gak sempat ngarang tulisannya, lho copy paste aja dari tulisan yang sudah ada, kemudian lho edit sedikit yang penting gak sama persis. Untuk kategori 2 ini, karena sifatnya informasi, siapa yang cepat memberikan informasi baru, pasti tulisan itu yang banyak diburu orang karena masyarakat kita yang haus informasi apalagi info tentang gosip pejabat atau artis.
3. Hal-hal yang tabu untuk diberitakan dari mulai masalah Tuhan sampai masalah Seks, lho tulis aja, pasti laku !, orang kita kan senangnya “nyerempet–nyerempet” ke hal yang tabu kemudian di perdebatkan antara pro dan kontra, jadi tulisan lho rame deh, dibaca orang. Bukan karena mutu tulisannya tapi karena berani tampil beda saja.
“Dan tulisan gue tentang jengkol dan pete itu masuk kategori pertama.” Jela si Boss lagi.
“Kalau gue simpulkan kenapa tulisan lho, Boss… bisa masuk Headline dan dibaca oleh orang banyak di Kompasiana, itu arti nya para anggota Kompasiana nya banyak yang hobi makan jengkol dan pete dong, Boss.” Kataku sok pintar pada si Boss.
“Hehehehe … sudah mulai pintar, lho !.” Ejek si Boss padaku.
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari mesjid yang ada di kampung.
“Waduh, Boss …sudah pagi!, hari ini lho, Boss masuk shift pagi kan? terus kapan tidurnya ?.” Tanyaku bingung.
“Ah, gampang !, habis subuh gue tidur sejam dua jam, kemudian bangun … terus kerja, deh !.” Jelas si Boss yakin.
Kemudian aku pun kembali ke kamar, selesai sholat subuh, aku pun berangkat tidur. Siangnya setalah aku bangun tidur, aku mendapat kabar dari teman kerja ku yang lain kalau tadi siang, di lokasi pertambangan si Boss jatuh pingsan dan di bawa ke rumah sakit.
Aku tidak bisa menjenguk si Boss di rumah sakit karena pengawas di lapangan tinggal aku saja. Pekerjaan si Boss pun akhirnya aku yang tangani juga.
# …………… # ……. …….# ……………. #
Seminggu kemudian, si Boss pun mulai terlihat ditempat kerja lagi. Aku pun segera memburunya.
“Ngomong-ngomong diagnosa dokternya apa, Boss ?.” Tanyaku penasaran.
“Hehehehe … faktor kelelahan aja !.” Jawab si Boss santai. “Karena kurang tidur, Tensi gue naik, tiba-tiba saja gelap … dan gak tahu apa yang terjadi, sadar-sadar gue sudah di rumah sakit !.”
“Gara-gara Kompasiana, Boss ?.” Tanyaku menyelidik.
“Hehehehehe ….” Si Boss cuma nyengir aja sambil terus berjalan menuju ke mess karyawan. Akupun bergegas mengikuti disebelahnya.
“Jadi kapok, Boss dengan Kompasiana ?.” Tanyaku penasaran.
“Hehehehehe …..” Lagi-lagi si Boss pun cuma nyengir saja.
Sebelum penasaranku hilang. Si Boss malah balik bertanya kepadaku, “Ngomong-ngomong … tulisan yang lho posting kemarin kok judul nya sama dengan tulisan gue?.”
“Nama nya juga humor, Boss … hehehehe ….” Sekarang aku yang malah nyengir.
“Sengaja judulnya saya samain tapi dibelakangnya : dalam kurung saya tulis HUMOR, Boss … karena tulisan Boss sudah terkenal ya gue numpang terkenal juga, Boss … hehehehe …..” Jelasku malu.
“Ah, sudahlah gak usah ngoyo’ mau jadi orang terkenal.” Jelas si Boss singkat. “Oh, iya, mau makan siang dimana kita hari ini ?. Tanya si Boss padaku.
“Bagaimana kalau di warung Bu Barjah ?, ada sayur asem dan pete bakar, Boss… dicocol sambel cobek,  hmm mantaaaaffff !.” Jelasku semangat.
Rendang jengkol nya ada ?.” Tanya si Boss.
“Ada !.” Jawabku meyakinkan. “Bu Barjah tahu kalau si Boss mau datang hari ini, jadi rendang jengkol dan pete bakar nya gak bakal ketinggalan.”
“OK lah .. kalau begitu.” Sahut si Boss sambil mempercepat langkahnya.
“Tapi, Boss … ngomong-ngomong Boss yang traktir kan?.” Tanyaku polos.
“Hehehe …gantian dong, masa gue melulu sih yang traktir !, sekali-sekali lho dong !.” Jawab si Boss mantap.
Sambil nyengir dan garuk-garuk kepala, Hehehe …Ya … tekor deh gue !, bisikku dalam hati.

Gunung Jaha Lestari, Bogor, 27 Agustus 2010

Wans_Sabang


NB : Persahabatan aku dan si Boss di tempat kami kerja bagaikan Jengkol dan Pete, 2 kawan sejoli yang bikin “bau”.

Minggu, 22 Mei 2011

Bangga Jadi David


Anak-anak para pemulung sedang pembagian raport


Selamat pagi, Indonesia Jaya.
Tiba-tiba saja aku seperti pahlawan “kesiangan” yang berani memposisikan diri sebagai David yang berani bertarung melawan Goliath, para raksasa koruptor yang telah menggurita.
Korupsi adalah kebiasaan buruk yang sudah membudaya, dan untuk memberantasnya tentu saja bukan perjuangan yang mudah, sangat berat dan hampir mustahil. Dalam sekejap saja pasti akan terlihat hasilnya yaitu : sia-sia.
Dalam kesia-siaan itu, apakah aku akan menjadi David selamanya ?.
“Sudah lah tidak usah munafik, kawan !.” Begitu ejek temanku. “ Belum saja kesempatan korupsi itu datang kepadamu, kalau sudah, pasti akan sama saja, kamu dengan mereka.”
Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk membela diri, temanku terus saja nyerocos, “Lihat Menteri Kehutanan itu !, bukan kah dia mentor kita waktu di HMI (baca : Himpunan Mahasiswa Islam) dulu ?.” Aku diam tak menjawab. Sebuah pertanyaan yang tak perlu ku jawab karena aku dan temanku pun sama-sama tahu kalau Menteri Kehutanan itu adalah mentor kita waktu pendidikan dasar anggota HMI Jakarta.
“Begitu tawadhu nya, dia dulu … .” Temanku melanjutkan ceritanya. “Puasa senin kamis nya rajin, tahajud nya juga gak ketinggalan, badannya saja sampai kurus kering begitu … pemuda idealis yang sangat vokal dan berani, sehingga oleh “intel” sering dijadikan TO (baca: Target Operasi)
“Tapi apa yang terjadi kemudian ?, Kebutuhan hidup seseorang akan semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu, apalagi setelah dia berrumah tangga dan mempunyai anak, apakah cukup hanya mengandalkan idealisme saja ?.” Tanya temanku lagi.
“Pekerjaan menjadi dosen di sebuah universitas biasa-biasa saja, tidak bisa dijadikan tumpuan karir untuk masa depannya, dengan pengalaman organisasi nya sangat mudah bagi dia untuk bisa berkiprah di partai, dari partai lah lalu kemudian dia terpilih menjadi seorang wakil rakyat dan dalam periode berikutnya karena partai nya berkoalisi dan sangat dekat dengan kubu presiden, maka dia pun terpilih menjadi seorang menteri.”
“Lantas, apa yang salah ?.” Tanyaku.
“Perutnya saja sekarang sudah membuncit, itu tanda nya dia sudah makmur, kawan !”
“Tidak ada korelasi nya antara perut buncit dengan kemakmuran seseorang apalagi dengan korupsi.” Protesku pada temanku.
“Manusia adalah makhluk hidup yang paling pandai ber-adaptasi, termasuk dia, aku dan kamu juga !, makanya kita bisa survive sampai saat ini.” Jelasnya lebih lanjut. “Siapa yang tidak pandai ber-adaptasi, maka dia tidak akan bertahan hidup dan akan tergilas jaman, kawan !.”
“Kalau itu aku juga setuju.” Jawabku singkat.
“Maka nya jadi orang gak usah terlalu idealis lah, flexible dan kompromistis, dan jangan lupa, masalah apapun bisa : “cincai lah !”, di sini apa sih yang gak bisa dibeli dengan uang ?.”
“Itu nama nya oportunis !.” Protesku lagi.
“Ini realita, kawan !.” Jawabnya menangkis protesku.
“Realita ?, lantas sudah kau taruh dimana hati nuranimu, teman ?.” Jawabku kalem.
“Ah, Terserah kau saja lah !, yang penting keluargaku aman dan gak kelaparan, hehehe ….siapa sih yang gak mau jadi pejabat ?, semua orang pasti mau, termasuk aku juga !, hehehe …” Sambil tertawa nyengir temanku pun pergi.
Enam bulan kemudian setelah temanku pergi.
Dibeberapa harian surat kabar memuat berita tentang skandal si Menteri Kehutanan mulai dari ditemukan adanya aliran dana ke yayasan yang di pimpin oleh Menteri Kehutanan itu pada kasus alih fungsi hutan lindung, penerimaan traveller’s cheque terkait dengan Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia.
Sebagai manusia yang pandai ber-adaptasi, Menteri Kehutanan itu pun bersikeras kalau uang suap yang diterimanya dianggap sebagai rejeki dari seorang kawan dan tuduhan korupsi pada dirinya sama dengan tuduhan PKI terhadap seseorang pada masa Orde Baru. Dia selalu bersikeras menentang kalau dirinya disangka koruptor tapi bau aroma korupsi dan uang suap, begitu kental. tercium.
Aku jadi teringat ketika dalam kampanyenya di daerah-daerah, dia selalu vokal menyerukan pemberantasan korupsi. Ternyata, setelah jadi pejabat kini di pengadilan Tipikor, dia disebut-sebut sebagai seseorang yang tersangkut skandal suap dan korupsi.
Sebuah ironisme yang biasa terjadi di negara ini. Ya, mungkin saja kata temanku benar. Aku menjadi David sebenarnya adalah karena aku belum memiliki kesempatan untuk menjadi Goliath.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 07:30, secepatnya tulisan ini aku posting di Kompasiana. Sebentar lagi murid-murid spesialku datang. Selain sebagai guru di sebuah sekolah swasta, aku dan beberapa teman yang memiliki kepedulian yang sama, mendirikan sebuah kelas darurat untuk mendidik anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar di sekitar Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang.
Bau busuk yang menyengat dari tumpukan sampah yang menggunung buat hidungku sudah menjadi hal biasa. Jangankan berharap untuk mendapatkan uang lebih dari kegiatan mengajar kami, sering kami pun terpaksa merogoh dari kocek kami sendiri untuk membiayai kegiatan ini.
Dikeheningan malam, kadang aku merenung. Apa yang sebenarnya kucari dari kegiatan ini ?. Istriku yang tertidur lelap di sampingku. Dan anak bayiku yang baru berumur tiga bulan dengan senyum, ia tidur di samping ibunya. Apakah kelak aku sanggup membahagiakan mereka ?. Cepat-cepat kutepis keraguan itu. Sebenarnya aku bangga dengan diriku sendiri, bangga menjadi David yang telah berani melawan Goliath yang gagah perkasa dan sangat berkuasa itu. Walaupun hanya dengan menjadi guru bagi anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar.
Gunung Jaha, Bogor, 26 Agustus 2010
Wans Sabang

seperti satu meriam kau meledak, seribu bedil adakah berarti?,

kalau laras-laras sudah berbalik, apalagi kau tunggu saudara?,

Ayo, nyalakan api hatimu!, seribu letupan pecah suara,

sambut dengan satu kata : MERDEKA !

(Nyanyian Tanah Merdeka, Leo Kristi)

Bosan Aku Caci Maki Kamu !



Bosan Aku Caci Maki Kamu !

Aku dilahirkan dari kedua orang tua yang bukan tukang mencaci maki. Jadi Tak sepantasnya kalau aku jadi orang yang suka mencaci maki. Like Father like Son, buah jatuh selalu tidak jauh dari pohonnya.
Sewaktu aku dilahirkan di sebuah rumah sakit pemerintah, di ‘oper’ kesana, di ‘oper’ kesini, di ‘cuek’in, di judesin suster dan para perawatnya, karena orang tuaku ke rumah sakit dengan membawa SKTM (Surat Keterangan Tanda Tidak Mampu) atau lebih akrab disebut : Surat Miskin, masih saja orang tua ku bisa tersenyum dan tidak mau  mencaci maki.
Aku disekolahkan di  Sekolah Dasar yang lebih mirip “kandang sapi” dengan lapangan sekolahnya sama dengan “kubangan kerbau” setelah di guyur hujan. Orang Tuaku masih saja diam dan tak mau mencaci maki.
Ketika PLN memutuskan aliran listrik di rumahku karena orang tua ku telat membayarnya, setelah dua bulan yang lalu PAM telah memutuskan dan mencabut meteran air nya, masih saja orang tua ku, tertunduk-tunduk hormat dan ewuh pakewuh kepada para petugas itu dan tak keluar sepatah katapun caci makian.
Aku benci semua ini !.
Ketika 17 tahun umurku, sebagai stempel kedewasaan, aku pun mengurus KTP.  Sambil menyerahkan KTP ku yang telah selesai, sambil berbisik, petugas kelurahan meminta uang tips sebesar 50 ribu padaku. Dan aku pun berteriak : GILA, LHO !, KATANYA NGURUS KTP  GRATIS ?.
Sambil bersikeras untuk tidak memberikan uang sepeserpun, aku pun pergi sambil mencaci maki, “HUH DASAR !, PETUGAS SIAL !.”
Tanpa kusadari, dari hari kehari, aku pun selalu mencaci maki dan senang mencaci maki.
Ketika buruknya pelayanan transportasi umum yang ku temui, dari bis kota dan kereta ekonomi. Aku caci maki kamu !.
Ketika banjir tahunan yang melanda kota Jakarta, hingga merendam rumahku sampai sedada. Aku caci maki kamu !.
Ketika TVRI (stasiun TV satu-satunya yang ada pada saat itu) sedang menyiarkan KELOMPENCAPIR. Aku Caci Maki Kamu !.
Ketika Beliau sedang membacakan Laporan Pertanggung Jawaban dihadapan wakil rakyat, karena saking bosannya terhadap Beliau yang kelamaan menjabat jadi Presiden. Aku Caci Maki Kamu !.
Ketika sebuah paduan suara para wakil rakyat menyanyikan koor : Setujuuuuuuu !, untuk mengangkat beliau kembali menjabat sebagai Presiden untuk 5 tahun lagi. Aku benar-benar kesal terus caci maki kamu !.
Ketika terjadi krisis moneter, rupiah anjlok terpuruk ke jurang yang paling dalam. Aku Caci Maki Kamu!.
Ketika mahasiswa memutuskan untuk turun ke jalan, memberikan ULTIMATUM agar beliau diturunkan dari jabatannya sebagai presiden. Aku semakin bersemangat caci maki kamu.
Di panggung Orasi, ketika aku lebih memilih : REVOLUSI SAMPAI MATI ! dari pada REFORMASI 1/2 HATI.  Aku Caci Maki Kamu !.
Tanpa terasa kini aku telah menjadi orang tua, ya orang tua yang suka mencaci maki.
Ketika aku menatap keluguan wajah anak-anakku, Like father like Son, buah jatuh selalu tidak jauh dari pohonnya. Oh, My God !, apakah anak-anakku nanti akan seperti diriku menjadi orang yang suka mencaci maki.  God, cukup aku saja si Tukang Caci Maki itu !.
Jujur, sebenarnya aku pun bosan caci maki kamu.
Karena kamu adalah makhluk yang paling tuli sedunia, patung yang terbuat dari batu cadas, Begitu kasarnya aku caci maki kamu. Tetap saja kamu diam tak bergeming. Karena kamu adalah makhluk paling sombong dan tolol sedunia.
STOP !
Tadi kan aku sudah bilang, sebenarnya aku bosan caci maki kamu !.
Bukan karena aku BENCI kamu tapi karena aku SAYANG kamu, Indonesia  …
Jadi izinkan aku terus caci maki kamu …
Bogor, 23 Agustus 2010
Wans_Sabang
catatan yang terserak dari seoarang aktivis,
oleh-oleh Reformasi 1/2 Hati ….
sebuah bentuk sayang yang “aneh”

Si Kancil Mencuri Ketimun, Kok Pak Taninya Gak Marah?



Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun,
Ayo lekas di tangkap !, Jangan di beri ampun …

Kata-kata di atas adalah sebuah lirik lagu anak-anak yang telah akrab di telinga kita.
Dari jaman bapak saya masih anak kecil, sampai sekarang saya sudah menjadi bapak dan punya anak kecil, lagu tersebut tetap saja masih sering diperdengarkan.
Pada lagu tersebut ada nasehat dan pengajaran kepada kita yang telah ditanamkan sejak kita masih TK. Nilai-nilai moral yang terdapat pada lirik lagu tersebut sangat sederhana dan mudah di cerna. Anak TK pun  bisa cepat memahaminya.
Si Kancil, merupakan simbol binatang yang cerdik. Cerdik bukan dalam arti pandai dan pintar tetapi cerdik dalam arti licik dan curang. Karena kelicikan dan kecurangannya, dalam lirik lagu tersebut si Kancil di ‘konotasi’ kan sebagai anak nakal yang suka mencuri”.
Pesan moral pertama pada lagu tersebut adalah ; siapa pun yang mencuri disebut atau di kelompokkan sebagai anak nakal.
Pertanyaannya adalah : apakah pesan moral tersebut masih tetap sama dan tidak berubah dari jaman dahulu sampai sekarang ?. Atau, apakah nilai-nilai pesan moralnya telah terjadi degradasi, sehingga timbul pendapat ;
Siapa pun yang mencuri belum tentu disebut atau di kelompokkan sebagai anak nakal, bisa saja anak baik atau orang-orang yang terkesan baik dan terhormat pun ternyata suka atau hobinya mencuri.
Pesan moral kedua pada lagu tersebut adalah ; siapa pun yang mencuri, Ayo, lekas di tangkap !. Ditangkap sama artinya dengan di hukum atau secepatnya dilakukan proses hukum terhadap siapa pun yang mencuri tanpa rekayasa dan pandang bulu, menganut asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pesan moral ketiga pada lagu tersebut adalah ; pencuri yang sudah ditangkap, ya jangan diberi ampun. Jangan diberi ampun, sama artinya dengan pencuri yang telah ditangkap, harus diberikan sangsi hukum yang setimpal sehingga akan menimbulkan efek jera bagi orang lain yang berniat untuk mencuri. Tindakan ‘preventif’ atau pencegahan selalu akan lebih baik dari pada tindakan ‘kuratif’ atau “mengobati”.
Al-kisah dalam sebuah dongeng, Pak Tani yang sudah geram karena kebunnya selalu dicuri oleh si Kancil, Ia berusaha keras untuk menangkap si Kancil yang terkenal cerdik itu.
Dengan seluruh keseriusan dan kesungguhannya, serta berbagai cara akhirnya Pak Tani pun berhasil menjebak, menjerat lalu menangkap si Kancil sehingga akhirnya si Kancil tak berdaya.
Kalau saya analogikan : Indonesia sebagai sebuah kebun yang maha luas, Pemilik kebunnya adalah Rakyat Indonesia dan Pak Tani nya adalah orang-orang yang di amanat kan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga, melindungi dan merawat kebun tersebut. dari gangguan si Kancil atau anak-anak nakal yang suka mencuri.
Kebun yang bernama Indonesia bukan hanya ditanami ketimun, tomat dan cabe saja. Di dalam kebun Indonesia juga terdapat banyak kekayaan alam lainnya, baik yang hayati maupun non hayati seperti ; hutan, kelapa sawit, karet, minyak bumi, emas, batu bara, dan lain-lainnya.
Indonesia sebagai sebuah kebun yang bukan hanya menggiurkan namun juga mampu menerbitkan air liur bagi si Kancil.
Dan ironisya, bukan hanya si Kancil yang terbit air liur nya melihat sumber kekayaan alam Indonesia tapi Pak Tani yang lemah imannya dari kalangan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif , dari tingkat kelurahan sampai struktur pemerintahan tertinggi, dari Sabang sampai Merauke, yang seharusnya menjaga, melindungi dan merawat kebun Indonesia, eh … malah ikut-ikutan jadi si Kancil.
Ironis memang, orang-orang yang terkesan baik dan terhormat ternyata adalah si Kancil yang suka mencuri di kebun Indonesia, lolos begitu saja dan tidak mudah di tangkap. Kalau pun sempat ditangkap, sulit sekali untuk dijerat oleh hukum. Pak Tani yang seharusnya serius dan sungguh-sungguh menangkap si Kancil ternyata sama saja ; setali tiga uang, sama aja bo’ong, musang berbulu domba, pagar makan tanaman, si melekete !, wes ewes ewes bablas kancil’ne, preketeeeew, preeeeeeeeettt !.
Sungguh, kita telah salah memberi amanat itu. Ah, apa gunanya penyesalan?.
Pantas saja, ketika si Kancil mencuri Ketimun, Kok Pak Tani nya gak marah ?.

Gunung Jaha Lestari, 23 Agustus 2010
Wans_Sabang


Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun,
Ayo lekas di tangkap !, Jangan di beri ampun …
Nyanyian lagu anak-anak tersebut semakin lama semakin sayup terdengar
dari speaker mainan “Odong-Odong” yang ditumpangi putriku terkecil.
Bapak Tukang Odong-Odong itu pun membuyarkan lamunanku,
“Pak … Pak … sudah habis, Pak, Ongkosnya, Pak !.
Aku pun memberikan uang seribu, lalu Bapak Tukang Odong-Odong itu pun pergi.
Sambil menggendong putriku terkecil, tanpa terasa air mata menetes menghangati pipi,
“Duh, Indonesia … apa yang bisa kuwariskan untukmu nanti, Nak ?,
selain cuma kemiskinan dan kebodohan saja ….”

Mantan Konseptor Pidato Presiden Meninggal Dunia


Pada hari hari
sepi
tinggal titik titik
detik detik
akhir hidupku
dan
aku harus menulis lagi …
tentang kunang-kunang
hingga cinta yang usang
tentang sebuah cita-cita
sampai renta tak berdaya
tentang rumput-rumput
sampai maut akan menjemput
kupandangi lagi
coretan-coretan batinku
duh !, aku merasa asing …
konsep pidato presiden menyambut hari pahlawan
konsep pidato presiden menyambut hari kebangkitan nasional
konsep pidato presiden di hari kemerdekaan
konsep ini konsep itu
konsep bla bla bla …
apa artinya piagam dan lencana?
apa artinya gemuruh tepuk tangan?
kalau semua tulisanku tak berharga
dan sama dengan sampah !
intelektualitasku dikebiri
harga diriku pun t’lah dibeli…
apa artinya harta berlimpah ?
jika ragaku pun tak berjiwa
sia-sia detak jantungku menangkal ajal
semakin aku lemah lunglai juga …
aku akan menulis
dengan hati
dengan jiwaku yang menjerit-jerit
dengan geloraku yang panas menyala
sebelum mati, aku harus menulis …
walau yang ku tulis cuma bagaimana cara berternak cacing !
mungkin itu lebih mulia
dari pada aku terus menerus menipu bangsaku
membohongi dan membodohi rakyatku sendiri
aku berharap kelak di alam sana
berjumpa dengan Bung Pram, Chairil Anwar dan W.S. Rendra
berdebat tentang cita-cita Indonesia Raya
mencari solusi menuju Indonesia Jaya …
duh, begitu indahnya suasana itu
semangatku pun membara
ragaku pun kini dipenuhi jiwa-jiwa merdeka
hei, Tuhan !, akhirnya Kau pun datang juga
aku bisa apa selain pasrah …
tapi jiwaku
tak akan pernah menyerah !
PS :
Mantan konseptor pidato presiden meninggal dunia,
begitulah sebuah artikel berita yang sambil lalu kubaca di KOMPAS pagi ini.
Lalu kubaca head line, berita olah raga yang ku suka, dan segera saja koran tersebut kulipat kumasukkan kedalam tas kerja.
Secepatnya aku berangkat kerja untuk menghindari kemacetan di jalan.


Gunung Jaha Lestari, 21 Agustus 2010

Wans_Sabang