Total Tayangan Halaman

Minggu, 22 Mei 2011

Bangga Jadi David


Anak-anak para pemulung sedang pembagian raport


Selamat pagi, Indonesia Jaya.
Tiba-tiba saja aku seperti pahlawan “kesiangan” yang berani memposisikan diri sebagai David yang berani bertarung melawan Goliath, para raksasa koruptor yang telah menggurita.
Korupsi adalah kebiasaan buruk yang sudah membudaya, dan untuk memberantasnya tentu saja bukan perjuangan yang mudah, sangat berat dan hampir mustahil. Dalam sekejap saja pasti akan terlihat hasilnya yaitu : sia-sia.
Dalam kesia-siaan itu, apakah aku akan menjadi David selamanya ?.
“Sudah lah tidak usah munafik, kawan !.” Begitu ejek temanku. “ Belum saja kesempatan korupsi itu datang kepadamu, kalau sudah, pasti akan sama saja, kamu dengan mereka.”
Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk membela diri, temanku terus saja nyerocos, “Lihat Menteri Kehutanan itu !, bukan kah dia mentor kita waktu di HMI (baca : Himpunan Mahasiswa Islam) dulu ?.” Aku diam tak menjawab. Sebuah pertanyaan yang tak perlu ku jawab karena aku dan temanku pun sama-sama tahu kalau Menteri Kehutanan itu adalah mentor kita waktu pendidikan dasar anggota HMI Jakarta.
“Begitu tawadhu nya, dia dulu … .” Temanku melanjutkan ceritanya. “Puasa senin kamis nya rajin, tahajud nya juga gak ketinggalan, badannya saja sampai kurus kering begitu … pemuda idealis yang sangat vokal dan berani, sehingga oleh “intel” sering dijadikan TO (baca: Target Operasi)
“Tapi apa yang terjadi kemudian ?, Kebutuhan hidup seseorang akan semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu, apalagi setelah dia berrumah tangga dan mempunyai anak, apakah cukup hanya mengandalkan idealisme saja ?.” Tanya temanku lagi.
“Pekerjaan menjadi dosen di sebuah universitas biasa-biasa saja, tidak bisa dijadikan tumpuan karir untuk masa depannya, dengan pengalaman organisasi nya sangat mudah bagi dia untuk bisa berkiprah di partai, dari partai lah lalu kemudian dia terpilih menjadi seorang wakil rakyat dan dalam periode berikutnya karena partai nya berkoalisi dan sangat dekat dengan kubu presiden, maka dia pun terpilih menjadi seorang menteri.”
“Lantas, apa yang salah ?.” Tanyaku.
“Perutnya saja sekarang sudah membuncit, itu tanda nya dia sudah makmur, kawan !”
“Tidak ada korelasi nya antara perut buncit dengan kemakmuran seseorang apalagi dengan korupsi.” Protesku pada temanku.
“Manusia adalah makhluk hidup yang paling pandai ber-adaptasi, termasuk dia, aku dan kamu juga !, makanya kita bisa survive sampai saat ini.” Jelasnya lebih lanjut. “Siapa yang tidak pandai ber-adaptasi, maka dia tidak akan bertahan hidup dan akan tergilas jaman, kawan !.”
“Kalau itu aku juga setuju.” Jawabku singkat.
“Maka nya jadi orang gak usah terlalu idealis lah, flexible dan kompromistis, dan jangan lupa, masalah apapun bisa : “cincai lah !”, di sini apa sih yang gak bisa dibeli dengan uang ?.”
“Itu nama nya oportunis !.” Protesku lagi.
“Ini realita, kawan !.” Jawabnya menangkis protesku.
“Realita ?, lantas sudah kau taruh dimana hati nuranimu, teman ?.” Jawabku kalem.
“Ah, Terserah kau saja lah !, yang penting keluargaku aman dan gak kelaparan, hehehe ….siapa sih yang gak mau jadi pejabat ?, semua orang pasti mau, termasuk aku juga !, hehehe …” Sambil tertawa nyengir temanku pun pergi.
Enam bulan kemudian setelah temanku pergi.
Dibeberapa harian surat kabar memuat berita tentang skandal si Menteri Kehutanan mulai dari ditemukan adanya aliran dana ke yayasan yang di pimpin oleh Menteri Kehutanan itu pada kasus alih fungsi hutan lindung, penerimaan traveller’s cheque terkait dengan Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia.
Sebagai manusia yang pandai ber-adaptasi, Menteri Kehutanan itu pun bersikeras kalau uang suap yang diterimanya dianggap sebagai rejeki dari seorang kawan dan tuduhan korupsi pada dirinya sama dengan tuduhan PKI terhadap seseorang pada masa Orde Baru. Dia selalu bersikeras menentang kalau dirinya disangka koruptor tapi bau aroma korupsi dan uang suap, begitu kental. tercium.
Aku jadi teringat ketika dalam kampanyenya di daerah-daerah, dia selalu vokal menyerukan pemberantasan korupsi. Ternyata, setelah jadi pejabat kini di pengadilan Tipikor, dia disebut-sebut sebagai seseorang yang tersangkut skandal suap dan korupsi.
Sebuah ironisme yang biasa terjadi di negara ini. Ya, mungkin saja kata temanku benar. Aku menjadi David sebenarnya adalah karena aku belum memiliki kesempatan untuk menjadi Goliath.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 07:30, secepatnya tulisan ini aku posting di Kompasiana. Sebentar lagi murid-murid spesialku datang. Selain sebagai guru di sebuah sekolah swasta, aku dan beberapa teman yang memiliki kepedulian yang sama, mendirikan sebuah kelas darurat untuk mendidik anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar di sekitar Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang.
Bau busuk yang menyengat dari tumpukan sampah yang menggunung buat hidungku sudah menjadi hal biasa. Jangankan berharap untuk mendapatkan uang lebih dari kegiatan mengajar kami, sering kami pun terpaksa merogoh dari kocek kami sendiri untuk membiayai kegiatan ini.
Dikeheningan malam, kadang aku merenung. Apa yang sebenarnya kucari dari kegiatan ini ?. Istriku yang tertidur lelap di sampingku. Dan anak bayiku yang baru berumur tiga bulan dengan senyum, ia tidur di samping ibunya. Apakah kelak aku sanggup membahagiakan mereka ?. Cepat-cepat kutepis keraguan itu. Sebenarnya aku bangga dengan diriku sendiri, bangga menjadi David yang telah berani melawan Goliath yang gagah perkasa dan sangat berkuasa itu. Walaupun hanya dengan menjadi guru bagi anak-anak para pemulung dan anak-anak terlantar.
Gunung Jaha, Bogor, 26 Agustus 2010
Wans Sabang

seperti satu meriam kau meledak, seribu bedil adakah berarti?,

kalau laras-laras sudah berbalik, apalagi kau tunggu saudara?,

Ayo, nyalakan api hatimu!, seribu letupan pecah suara,

sambut dengan satu kata : MERDEKA !

(Nyanyian Tanah Merdeka, Leo Kristi)

Bosan Aku Caci Maki Kamu !



Bosan Aku Caci Maki Kamu !

Aku dilahirkan dari kedua orang tua yang bukan tukang mencaci maki. Jadi Tak sepantasnya kalau aku jadi orang yang suka mencaci maki. Like Father like Son, buah jatuh selalu tidak jauh dari pohonnya.
Sewaktu aku dilahirkan di sebuah rumah sakit pemerintah, di ‘oper’ kesana, di ‘oper’ kesini, di ‘cuek’in, di judesin suster dan para perawatnya, karena orang tuaku ke rumah sakit dengan membawa SKTM (Surat Keterangan Tanda Tidak Mampu) atau lebih akrab disebut : Surat Miskin, masih saja orang tua ku bisa tersenyum dan tidak mau  mencaci maki.
Aku disekolahkan di  Sekolah Dasar yang lebih mirip “kandang sapi” dengan lapangan sekolahnya sama dengan “kubangan kerbau” setelah di guyur hujan. Orang Tuaku masih saja diam dan tak mau mencaci maki.
Ketika PLN memutuskan aliran listrik di rumahku karena orang tua ku telat membayarnya, setelah dua bulan yang lalu PAM telah memutuskan dan mencabut meteran air nya, masih saja orang tua ku, tertunduk-tunduk hormat dan ewuh pakewuh kepada para petugas itu dan tak keluar sepatah katapun caci makian.
Aku benci semua ini !.
Ketika 17 tahun umurku, sebagai stempel kedewasaan, aku pun mengurus KTP.  Sambil menyerahkan KTP ku yang telah selesai, sambil berbisik, petugas kelurahan meminta uang tips sebesar 50 ribu padaku. Dan aku pun berteriak : GILA, LHO !, KATANYA NGURUS KTP  GRATIS ?.
Sambil bersikeras untuk tidak memberikan uang sepeserpun, aku pun pergi sambil mencaci maki, “HUH DASAR !, PETUGAS SIAL !.”
Tanpa kusadari, dari hari kehari, aku pun selalu mencaci maki dan senang mencaci maki.
Ketika buruknya pelayanan transportasi umum yang ku temui, dari bis kota dan kereta ekonomi. Aku caci maki kamu !.
Ketika banjir tahunan yang melanda kota Jakarta, hingga merendam rumahku sampai sedada. Aku caci maki kamu !.
Ketika TVRI (stasiun TV satu-satunya yang ada pada saat itu) sedang menyiarkan KELOMPENCAPIR. Aku Caci Maki Kamu !.
Ketika Beliau sedang membacakan Laporan Pertanggung Jawaban dihadapan wakil rakyat, karena saking bosannya terhadap Beliau yang kelamaan menjabat jadi Presiden. Aku Caci Maki Kamu !.
Ketika sebuah paduan suara para wakil rakyat menyanyikan koor : Setujuuuuuuu !, untuk mengangkat beliau kembali menjabat sebagai Presiden untuk 5 tahun lagi. Aku benar-benar kesal terus caci maki kamu !.
Ketika terjadi krisis moneter, rupiah anjlok terpuruk ke jurang yang paling dalam. Aku Caci Maki Kamu!.
Ketika mahasiswa memutuskan untuk turun ke jalan, memberikan ULTIMATUM agar beliau diturunkan dari jabatannya sebagai presiden. Aku semakin bersemangat caci maki kamu.
Di panggung Orasi, ketika aku lebih memilih : REVOLUSI SAMPAI MATI ! dari pada REFORMASI 1/2 HATI.  Aku Caci Maki Kamu !.
Tanpa terasa kini aku telah menjadi orang tua, ya orang tua yang suka mencaci maki.
Ketika aku menatap keluguan wajah anak-anakku, Like father like Son, buah jatuh selalu tidak jauh dari pohonnya. Oh, My God !, apakah anak-anakku nanti akan seperti diriku menjadi orang yang suka mencaci maki.  God, cukup aku saja si Tukang Caci Maki itu !.
Jujur, sebenarnya aku pun bosan caci maki kamu.
Karena kamu adalah makhluk yang paling tuli sedunia, patung yang terbuat dari batu cadas, Begitu kasarnya aku caci maki kamu. Tetap saja kamu diam tak bergeming. Karena kamu adalah makhluk paling sombong dan tolol sedunia.
STOP !
Tadi kan aku sudah bilang, sebenarnya aku bosan caci maki kamu !.
Bukan karena aku BENCI kamu tapi karena aku SAYANG kamu, Indonesia  …
Jadi izinkan aku terus caci maki kamu …
Bogor, 23 Agustus 2010
Wans_Sabang
catatan yang terserak dari seoarang aktivis,
oleh-oleh Reformasi 1/2 Hati ….
sebuah bentuk sayang yang “aneh”

Si Kancil Mencuri Ketimun, Kok Pak Taninya Gak Marah?



Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun,
Ayo lekas di tangkap !, Jangan di beri ampun …

Kata-kata di atas adalah sebuah lirik lagu anak-anak yang telah akrab di telinga kita.
Dari jaman bapak saya masih anak kecil, sampai sekarang saya sudah menjadi bapak dan punya anak kecil, lagu tersebut tetap saja masih sering diperdengarkan.
Pada lagu tersebut ada nasehat dan pengajaran kepada kita yang telah ditanamkan sejak kita masih TK. Nilai-nilai moral yang terdapat pada lirik lagu tersebut sangat sederhana dan mudah di cerna. Anak TK pun  bisa cepat memahaminya.
Si Kancil, merupakan simbol binatang yang cerdik. Cerdik bukan dalam arti pandai dan pintar tetapi cerdik dalam arti licik dan curang. Karena kelicikan dan kecurangannya, dalam lirik lagu tersebut si Kancil di ‘konotasi’ kan sebagai anak nakal yang suka mencuri”.
Pesan moral pertama pada lagu tersebut adalah ; siapa pun yang mencuri disebut atau di kelompokkan sebagai anak nakal.
Pertanyaannya adalah : apakah pesan moral tersebut masih tetap sama dan tidak berubah dari jaman dahulu sampai sekarang ?. Atau, apakah nilai-nilai pesan moralnya telah terjadi degradasi, sehingga timbul pendapat ;
Siapa pun yang mencuri belum tentu disebut atau di kelompokkan sebagai anak nakal, bisa saja anak baik atau orang-orang yang terkesan baik dan terhormat pun ternyata suka atau hobinya mencuri.
Pesan moral kedua pada lagu tersebut adalah ; siapa pun yang mencuri, Ayo, lekas di tangkap !. Ditangkap sama artinya dengan di hukum atau secepatnya dilakukan proses hukum terhadap siapa pun yang mencuri tanpa rekayasa dan pandang bulu, menganut asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pesan moral ketiga pada lagu tersebut adalah ; pencuri yang sudah ditangkap, ya jangan diberi ampun. Jangan diberi ampun, sama artinya dengan pencuri yang telah ditangkap, harus diberikan sangsi hukum yang setimpal sehingga akan menimbulkan efek jera bagi orang lain yang berniat untuk mencuri. Tindakan ‘preventif’ atau pencegahan selalu akan lebih baik dari pada tindakan ‘kuratif’ atau “mengobati”.
Al-kisah dalam sebuah dongeng, Pak Tani yang sudah geram karena kebunnya selalu dicuri oleh si Kancil, Ia berusaha keras untuk menangkap si Kancil yang terkenal cerdik itu.
Dengan seluruh keseriusan dan kesungguhannya, serta berbagai cara akhirnya Pak Tani pun berhasil menjebak, menjerat lalu menangkap si Kancil sehingga akhirnya si Kancil tak berdaya.
Kalau saya analogikan : Indonesia sebagai sebuah kebun yang maha luas, Pemilik kebunnya adalah Rakyat Indonesia dan Pak Tani nya adalah orang-orang yang di amanat kan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga, melindungi dan merawat kebun tersebut. dari gangguan si Kancil atau anak-anak nakal yang suka mencuri.
Kebun yang bernama Indonesia bukan hanya ditanami ketimun, tomat dan cabe saja. Di dalam kebun Indonesia juga terdapat banyak kekayaan alam lainnya, baik yang hayati maupun non hayati seperti ; hutan, kelapa sawit, karet, minyak bumi, emas, batu bara, dan lain-lainnya.
Indonesia sebagai sebuah kebun yang bukan hanya menggiurkan namun juga mampu menerbitkan air liur bagi si Kancil.
Dan ironisya, bukan hanya si Kancil yang terbit air liur nya melihat sumber kekayaan alam Indonesia tapi Pak Tani yang lemah imannya dari kalangan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif , dari tingkat kelurahan sampai struktur pemerintahan tertinggi, dari Sabang sampai Merauke, yang seharusnya menjaga, melindungi dan merawat kebun Indonesia, eh … malah ikut-ikutan jadi si Kancil.
Ironis memang, orang-orang yang terkesan baik dan terhormat ternyata adalah si Kancil yang suka mencuri di kebun Indonesia, lolos begitu saja dan tidak mudah di tangkap. Kalau pun sempat ditangkap, sulit sekali untuk dijerat oleh hukum. Pak Tani yang seharusnya serius dan sungguh-sungguh menangkap si Kancil ternyata sama saja ; setali tiga uang, sama aja bo’ong, musang berbulu domba, pagar makan tanaman, si melekete !, wes ewes ewes bablas kancil’ne, preketeeeew, preeeeeeeeettt !.
Sungguh, kita telah salah memberi amanat itu. Ah, apa gunanya penyesalan?.
Pantas saja, ketika si Kancil mencuri Ketimun, Kok Pak Tani nya gak marah ?.

Gunung Jaha Lestari, 23 Agustus 2010
Wans_Sabang


Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun,
Ayo lekas di tangkap !, Jangan di beri ampun …
Nyanyian lagu anak-anak tersebut semakin lama semakin sayup terdengar
dari speaker mainan “Odong-Odong” yang ditumpangi putriku terkecil.
Bapak Tukang Odong-Odong itu pun membuyarkan lamunanku,
“Pak … Pak … sudah habis, Pak, Ongkosnya, Pak !.
Aku pun memberikan uang seribu, lalu Bapak Tukang Odong-Odong itu pun pergi.
Sambil menggendong putriku terkecil, tanpa terasa air mata menetes menghangati pipi,
“Duh, Indonesia … apa yang bisa kuwariskan untukmu nanti, Nak ?,
selain cuma kemiskinan dan kebodohan saja ….”

Mantan Konseptor Pidato Presiden Meninggal Dunia


Pada hari hari
sepi
tinggal titik titik
detik detik
akhir hidupku
dan
aku harus menulis lagi …
tentang kunang-kunang
hingga cinta yang usang
tentang sebuah cita-cita
sampai renta tak berdaya
tentang rumput-rumput
sampai maut akan menjemput
kupandangi lagi
coretan-coretan batinku
duh !, aku merasa asing …
konsep pidato presiden menyambut hari pahlawan
konsep pidato presiden menyambut hari kebangkitan nasional
konsep pidato presiden di hari kemerdekaan
konsep ini konsep itu
konsep bla bla bla …
apa artinya piagam dan lencana?
apa artinya gemuruh tepuk tangan?
kalau semua tulisanku tak berharga
dan sama dengan sampah !
intelektualitasku dikebiri
harga diriku pun t’lah dibeli…
apa artinya harta berlimpah ?
jika ragaku pun tak berjiwa
sia-sia detak jantungku menangkal ajal
semakin aku lemah lunglai juga …
aku akan menulis
dengan hati
dengan jiwaku yang menjerit-jerit
dengan geloraku yang panas menyala
sebelum mati, aku harus menulis …
walau yang ku tulis cuma bagaimana cara berternak cacing !
mungkin itu lebih mulia
dari pada aku terus menerus menipu bangsaku
membohongi dan membodohi rakyatku sendiri
aku berharap kelak di alam sana
berjumpa dengan Bung Pram, Chairil Anwar dan W.S. Rendra
berdebat tentang cita-cita Indonesia Raya
mencari solusi menuju Indonesia Jaya …
duh, begitu indahnya suasana itu
semangatku pun membara
ragaku pun kini dipenuhi jiwa-jiwa merdeka
hei, Tuhan !, akhirnya Kau pun datang juga
aku bisa apa selain pasrah …
tapi jiwaku
tak akan pernah menyerah !
PS :
Mantan konseptor pidato presiden meninggal dunia,
begitulah sebuah artikel berita yang sambil lalu kubaca di KOMPAS pagi ini.
Lalu kubaca head line, berita olah raga yang ku suka, dan segera saja koran tersebut kulipat kumasukkan kedalam tas kerja.
Secepatnya aku berangkat kerja untuk menghindari kemacetan di jalan.


Gunung Jaha Lestari, 21 Agustus 2010

Wans_Sabang

Ingin Menjadi Warga Negara Indonesia yang Baik?



Tanggal 18 agustus 2010, mulai hari ini aku bertekad untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Selama ini aku selalu apriori kalau sudah bicara tentang Indonesia, yang terlihat selalu  yang buruk-buruk nya saja, serasa rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman rumah kita sendiri.
Apa yang salah ?. Pola pikir ku tentang Indonesia atau Indonesia nya sendiri yang memang pantas untuk di salahkan ?.
Kalau aku harus merubah Indonesia, hal ini adalah suatu pekerjaan yang Maha Besar dan lebih terlihat mustahil dengan segala keterbatasan yang ku miliki.
Hal yang sangat masuk akal dan bisa ku lakukan (asal saja aku masih punya kemauan) adalah merubah pola pikir ku tentang Indonesia. Merubah pola pikirku yang negatif menjadi pola pikirku yang positif tentang Indonesia.
Tulisan ini adalah sebagai bukti awal hasil perubahan pola pikirku yang positif tentang Indonesia.
Ya, mulai detik ini aku ingin menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Pertanyaan selanjutnya adalah dengan cara apa dan bagaimana agar aku bisa menjadi warga negara Indonesia yang baik ?.
Indonesia, apa yang bisa kuberikan untukmu ?.
Karena aku bukanlah orang kaya dan tidak mampu untuk memberi sepeser rupiah pun pada Indonesia  …. Hehehehe, CUKUP dengan TIDAK MENCURI sepeser rupiah pun dari Indonesia ini.
Sulitkah ?. Mudah-mudahan sebagai rakyat biasa aku akan lebih mudah melaksanakan tekadku. Karena aku bukanlah seorang pejabat yang punya akses untuk mencuri uang negara.
Wallahu’alam, cuma Allah yang Maha Tahu kalau saja nanti aku jadi seorang pejabat yang mempunyai akses untuk mencuri uang negara. Apakah aku masih bisa tetap memegang teguh tekadku ?.
Sulitkah ?. Ingin menjadi warga negara Indonesia yang baik ternyata lebih sulit ketika nanti aku jadi seorang pejabat dibandingkan sekarang saat aku masih jadi rakyat biasa.
Pantas Kenapa aku tidak jadi pejabat ?. Don’t be naif ?. Aku tidak naif !. Pola pikirku yang positif tentang Indonesia ternyata mampu mendamaikan hati dan pikiranku. Kenapa aku hanya jadi rakyat biasa ?, ternyata Tuhan masih sayang sama aku dan Dia tidak ingin aku jadi PENCURI. Terima kasih Tuhan …

Indonesia Sudah Merdeka ?



Setiap tanggal 17 agustus, saya selalu teringat akan pembacaan puisi dari budayawan Bung Ikranegara.
Waktu ramai-ramai nya era reformasi, para tokoh nasional, perwakilan-perwakilan dari elemen mahasiswa dan masyarakat banyak yang berorasi dengan bahasa yang meletup-letup siap untuk meledakkan sebuah kebuntuan sejarah yang disebut orde baru.
Bung Ikranegara naik ke atas panggung orasi. Bung Ikra diam sesaat, suasana yang kami tangkap saat itu tiba-tiba saja hening. Diam nya Bung Ikra saja telah begitu membuat kami penasaran, orasi macam apakah yang akan beliau bawakan, karena telah berlalu  tokoh-tokoh nasional yang berorasi, cukup memacu adrenalin kami untuk berontak melawan dan meruntuhkan orde baru.
Semangat untuk berontak melawan dan meruntuhkan rezim orde baru kami selalu di charge dengan demo-demo dan mendengarkan orasi para tokoh nasional anti orde baru pada saat itu.
Tapi Bung Ikra ternyata tidak membawakan orasi yang berapi-api sifatnya. Beliau ciptakan keheningan karena rupanya beliau ingin membacakan sebuah puisi. Kami semua yang menonton pada saat itu penasaran menunggu seorang budayawan membacakan puisi. Pasti akan ada sesuatu hal yang baru atau sesuatu hal yang unik yang dapat memberikan kami pencerahan.
Kini yang terdengar hanya suara Bung Ikra saja penuh semangat meneriakkan kata-kata :
Merdeka !
Merdeka !
Merdeka !
lalu kemudian tiba-tiba dengan wajah tertunduk tanpa semangat atau yang kami lihat adalah semangat yang berbeda dengan pada saat beliau meneriakkan yel-yel merdeka tadi.  Dan dengan suara lirih, nyaris tak terdengar, beliau berkata :
Indonesia belum merdeka …
Sebelum kami dapat mencerna kata-kata itu, Bung Ikra pun turun dari panggung orasi menyepi dari keramaian panggung.
Kami semua yang hadir pada saat itu cukup terkesima dan kaget dengan puisi singkat yang baru saja dibacakan oleh Bung Ikra sehingga kami semua terlambat memberikan tepuk tangan kepada Bung Ikra. (saya rasa Bung Ikra juga tidak membutuhkan tepuk tangan kami semua).
Sebuah puisi singkat, namun mampu menghujam ulu hati kami semua yang hadir pada saat itu. Indonesia belum merdeka …. Sebuah kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Bung Ikra mampu membuat kami harus me restart ulang pikiran kami pada waktu itu. Apa benar Indonesia belum merdeka ?, Kalau salah, timbul lagi pertanyaan dalam hati kami, Apa memang Indonesia sudah merdeka ?.
Indonesia belum merdeka ? atau Indonesia sudah merdeka ?. Sebuah pertanyaan yang bukan hanya perlu data-data penelitian dari berbagai macam sudut pandang keilmuan untuk menjawabnya tapi juga diperlukan sebuah kejujuran dari hati kita yang paling dalam.
Nilai sebuah kejujuran ini lah yang saat ini sulit dan langka di temukan karena adanya berbagai macam kepentingan pribadi, golongan dan partai. Sulit nya menjawab pertanyaan ini secara jujur dan obyektif sesulit kita mencari orang yang jujur di negara ini.


Cibitung, Bekasi, 17 Agustus 2010
wans_sabang

“Pengibaran bendera setengah tiang atas mati nya hati nurani ….”

Apa arti sebuah kemerdekaan buat bapak ibu kami?.


 Apa arti sebuah kemerdekaan buat bapak ibu kami?.

Jika lorong-lorong yang becek, gang-gang kampung tempat tinggal bapak ibu kami  pun sudah disulap developer menjadi beberapa apartemen mewah yang jelas-jelas bukan untuk orang-orang seperti kami,
Thamrin, Sudirman dan Rasuna Said, kini bukanlah nama-nama pahlawan, kesaktian nama-nama itu pun mereka tukar menjadi nama sebuah kawasan segi tiga emas, ya emas buat mereka tapi tidak untuk orang semacam bapa ibu kami,
Bapak ibu kami saksi sejarah Indonesia merdeka, kini mereka semakin terpinggirkan,  tinggal di pinggiran kota yang sumpek, berhimpitan dengan pabrik-pabrik yang membuang limbahnya sembarangan.
Rapat raksasa di lapangan IKADA, gegap gempita rakyat-rakyat berteriak : Merdeka !,  Soekarno Hatta dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya penuh semangat dan kebanggan dalam merayakan 1 bulan Indonesia merdeka, kini tinggal kenangan-kenangan usang yang selalu bapak ibu ceritakan pada kami.
Merdeka, Merdeka, Merdeka, cuma euforia saat itu.
Apa arti sebuah kemerdekaan buat bapak ibu kami ?. Hanya sebuah kebanggan semu kah?, jika hidup mereka selalu di jajah oleh kemiskinan dan kemelaratan.
Apa arti sebuah kemerdekaan buat kami ?. Kami pun akan terjerembab ke dalam lubang yang sama seperti bapa ibu kami jika kami pun hanya memiliki semangat kemerdekaan yang telah usang itu.
Apa arti sebuah kemerdekaan buat kami ?. Jika kami pun tidak memiliki kemerdekaan finansial seperti bapak ibu kami. Jangan pernah berharap merdeka karena kami akan selalu di jajah oleh kemiskinan dan kemelaratan yang terus berulang.
Berdasarkan pemikiran itu lah maka kami, anak-anak nya mendefinisikan kemerdekaan kami sendiri.
Kemerdekaan sesungguhnya buat kami adalah kemerdekaan secara finansial.
Bukan hanya dengan keuletan, kesabaran dan kerja keras dalam mencari uang saja, Tapi akal pikiran, pengetahuan tentang bagaimana cara nya uang bisa bekerja untuk kami, pertemanan dan jaringan sosial lainnya kami upayakan untuk meningkatkan pendapatan kami.
Memang kemerdekaan bukanlah hadiah. Begitu pun menurut kami, kemerdekaan atau kemerdekaan finansial adalah sesuatu yang harus diperjuangkan terus menerus dengan segala daya dan upaya yang kami miliki.
Bapak ibu di surga, Sesungguhnya tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan bangsa ini. Kami ma’afkan kekeliruan pemahaman bapak ibu karena telah terbius oleh euforia kemerdekaan.
Tanggal 17 agustus 1945 adalah awal dari perjuangan kami yang tiada akhir, melawan kemiskinan dan kebodohan dengan memerdekakan diri secara finansial, karena kami tidak ingin di jajah oleh bangsa sendiri.


Cibitung, Bekasi, 16 Agustus 2010
wans_sabang

Aku Lupa

Tuhan
aku lupa
bagaimana cara menyembahmu
tanpa meminta
memujamu
dengan rela
mencintaimu
dari hati
Tuhan
aku t’lah lupa
sia-sia lah lelah do’aku
jika yang ku pinta hanya pahala
Tuhan
Jangan kau buat aku lupa
pantas kah ku pinta surga
jika ku tak pernah belajar dari dosa-dosa
Tuhan
Memang pantas kalau kau lupa
seribu satu ayat-ayat
berjuta juta nikmat
hanya ku balas dengan beberapa roka’at saja
Tuhan
di bulan penuh berkah kau cipta puasa
berjuta juta hikmah yang mesti nya bisa ku bawa
tapi jiwa serakah lah yang selalu ku bela
Tuhan
aku benar-benar t’lah lupa
kau bisa bacakan semua catatanku nanti
tanpa ada yang terlupa …
aku lupa, Bogor 11 Agustus 2010
wans_sabang

Selasa, 10 Mei 2011

SIAPAKAH AKU?


SIAPAKAH AKU?
"Nama lho?." Tanya seorang gadis disebelahku yang tiba-tiba saja sudah mengulurkan tangan untuk berkenalan.
"Wage." Jawabku gak semangat.
Perlu aku jelaskan kenapa aku sedang gak semangat saat ini. Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah di SMP Negeri 18 Jakarta. Bukan SMP favoritku, tapi memang kenyataan nya sudah begitu, aku bisa apa?. Dan gadis yang disebelahku, bukanlah gadis yang tidak menarik. Kulitnya putih, wajahnya hmmm... manis juga kalau diperhatiin, dan yang jelas orang nya supel dan ramah.
"Hi, hi, hi, nama yang lucu." Sahut gadis disebelahku lagi.
"Maksud lho?." Tanyaku ketus.
"Sorry, bukan itu maksud gue …nama lho aneh!." Jelas gadis itu.
"Aneh...?."
"Ya, buat kuping gue terdengar aneh, nama panjang lho?." Tanya gadis itu menyelidik.
"Wage doang!." Jawabku kesal.
"Wage doang?, masa sih ?, gak kreatif banget bokap lho!. Tambahin deh nama lho biar keren, hmm (sambil berfikir) ... bagaimana kalau nama panjang lho gue tambahin jadi Wage Rudolph Supratman, he he he ....." Sahut gadis itu tambah sok akrab padaku.
"Gila lho!, itu sih pencipta lagu Indonesia Raya!." Jawabku kesal tapi setelah diperhatiin, gadis ini enak juga sih di ajak ngobrol nya.
"Lantas apa hubungan lho dengan si Wage itu ?. Nama lho kok bisa sama?. Apa ada hubungan saudara antara lho sama si Wage itu?." Tanya gadis itu dengan cerewet.
"Si Wage itu, si Wage itu ... si Wage itu siapa maksud lho?, Wage Rudolph Supratman ?." Tanya aku mulai kesal.
"He em." Jawab nya sambil mengangguk.
"Hubungan gue sama dia yang jelas adalah saudara." Jelasku mencoba mempermainkan gadis itu.
"Bener lho saudara an sama si pencipta lagu Indonesia Raya?." Tanya gadis itu penasaran.
"Iya lah, saudara sebangsa dan setanah air !, ngerti kan ?." Jelasku memperolok gadis itu.
"Huh, dasar !, ditanya serius malah becanda, Norak lho !." Sahut gadis itu sambil merengut cemberut.
"Ya, Gak ada lah hubungan nya, lho aja yang norak !, mentang-mentang nama nya sama lantas disangka saudara begitu?." Jelasku berusaha menenangkan nya.
"Mungkin bokap lho dulu nya nge fans berat sama dia?." Kata nya mencoba mencairkan suasana.
"Jangan ngeledek lho !." Jawabku tersinggung. "Ya, Mungkin aja ?!, di dunia ini apa sih yang gak mungkin ?, lagian kenapa juga sih lho yang repot ngurusin nama gue?." Sahutku bete.
"Nama gue : Eka!." Sambil gadis itu menyodorkan tangannya.
Wage menyambutnya tanpa semangat menjabat tangan Eka.
"Nama lengkap gue : Ekawati Riana Sembiring.". Jelas Eka padaku.
"Gue gak nanya !." Sahutku acuh saja.
"Sial lho !." Gerutu gadis itu.
"Gak kreatif juga ya bokap lho?." Tanyaku pada Eka.
"Masa sih?. Dari mana lho bisa tahu kalau bokap gue juga gak kreatif?." Tanya Eka penasaran.
"Pasti lho anak pertama dan bokap lho orang batak kan?."  Tanyaku lagi.
"Ya iya lah, nama gue kan Eka berarti satu, marga gue Sembiring, ya jelas aja lho bisa nebak kalau gue anak pertama dan bokap gue orang batak, huh dasar, bener-bener norak lho !." Jawab Eka kesal.
"Benar kan tebakan gue !. Itu arti nya bokap lho juga sama gak kreatif nya sama bokap gue !, Hehehehe ...ya kan?." Kata ku pada Eka.
"He he he, iya juga sih." Eka tertawa renyah sambil menggaruk kepalanya yang gak gatal.
"Tapi biar bokap kita sama-sama gak kreatif, masih kerenan gue lah nama nya." Kata Wage menyombongkan diri.
"Ge, nama lho bukan keren tapi aneh menurut gue. Singkat, padat dan aneh. ya ... (sambil berfikir lagi) ya memang aneh aja nama lho !. Artinya apa Ge, nama lho ?. Tanya Eka mulai lembut padaku.
Artinya ?. a .. ap (sambil berfikir serius) apa ya ?. Gue gak tau, Ka !. Jawabku polos.
"Gimana sih ?, lho aja yang punya nama gak tau artinya, apalagi orang lain." Jelasnya kesal.
Wage diam saja merenungi sesaat kata-kata yang telah Eka ceploskan pada nya.
"Ah, udah, gitu aja ngambek !. Lho tersinggung ya dengan omongan gue ?."  Tanya Eka. "Sensitif banget sih lho jadi cowo!." Sahut Ekameremehkanku.
"Sial lho !, siapa yang sensitif ?. Gue tuh lagi mikir tau !." Sahut aku  kesal.
"Memangnya otak lho bisa di pakai buat mikir, Ge?. Bukan nya otak lho udah ketutup sama rambut kribo lho?, he he he ...." Sahut Eka meledekku.
"Lho bisa diam gak sih kalau gue lagi mikir?." Sahutku agak serius.
"Siaaaaap !, grak !.". Jawab Eka lantang seperti tentara yang sedang latihan baris.
"Kasih gue ruang dong buat konsentrasi, Ka ..." Kataku sok pintar..
"Siap, Dan !, perintah saya laksanakan !." Sahut Eka sigap.
"Aneh ?. Sampai se gede ini ternyata gue baru sadar kalau ternyata gue gak tau arti nama gue sendiri .. aneh?, benar-benar aneh?. Kenapa selama ini gue enjoy-enjoy aja di kasih nama Wage sama bokap nyokap gue?. Aneh, benar-benar aneh?." Kata Wage terheran-heran.
"Gue bilang juga apa?, nama lho tuh aneh !. Gue bilang aneh nya cuma sekali tapi lho berkali-kali, aneh benar-benar aneh !." Sahut Eka menjelaskan.
"Sekarang gue mulai tau artinya, Ge ..."  Kata Eka tertarik.
Wage diam sesaat menanti omongan Eka lalu mulai kesal. "Ah, sok tahu lho !."
"Menurut gue Wage itu arti nya, singkat, padat dan aneh benar-benar aneh !, setuju gak lho?." .
"Ah,Gila lho !." Sahut Wage kesal sambil berlalu pergi dari hadapan Eka.
Eka bengong merasa di tinggal begitu saja oleh Wage. Jarang sekali dia diperlakukan seperti itu oleh teman-teman cowo nya.
Huh, dasar kribo kampungan !. Umpat Eka kesal.

@ @ @ @ @ @


Wage terbaring di tempat tidur nya, mata nya sulit sekali dipejamkan.

Gue suka nama lho. singkat, padat, aneh tapi keren?. Ia teringat terus akan kata-kata Eka tentang nama nya.
Keren ... ???.

Bagaimana seandainya namaku bukan Wage ?. Bukankah sebelumnya ibuku ingin menamaiku, Arjuna. Wow !, itu baru keren.
Arjuna, ksatria tampan, gagah, berwibawa dan siapa gadis yang tidak suka padanya ? .
Memangnya kalau aku diberi nama Arjuna  lantas begitu saja aku bisa berubah menjadi Raden Arjuna ?.
Tiba-tiba muka ku yang kotak, jidat yang menonjol keras,  alis tebal yang menakutkan dan tidak boleh dilupakan rambut keritingku yang menyebalkan alias kribo (sering orang-orang bilang kalau aku lebih mirip petinju negro). Bagaimana mungkin aku bisa berubah menjadi Arjuna ?. Atau Arjuna nya yang harus berubah menjadi mirip aku ?. Mudah-mudahan saja.
Oh, kenapa ibuku tidak bersikeras untuk memberi ku nama Arjuna ?
Dan ketika ku tanyakan pada bapakku kenapa memberiku nama Wage, dia hanya diam saja. Dia cuma bilang kalau nama Wage juga bagus dan gak jelek-jelek amat.
Aku sempat minta ganti nama tapi bapakku tidak mengijinkan karena nama Wage adalah pemberian kakekku, bisa kualat nanti kata bapakku.
Mending kualat deh, dari pada terus di tanyain orang, kenapa nama nya cuma Wage doang?. Aku cuma bisa diam saja walau hati runyam.

Bersambung ...



Bogor, 11 Agustus 2010
wans_sabang

Siapakah Aku ? (# 2)
Langganan itu adalah Raja

“Arjuna …!, Arjuna … !, Arjuna …. !, ayo bangun, sayang … sudah siang nih, pisang rebus dan wedang jahe nya sudah siap untuk disantap, mumpung masih hangat,. ayo bangun, sayang ….” Lamat-lamat terdengar suara Srikandi membangunkan aku.
Aku pun membalasa nya dengan kata-kata manja, “hmmm, masih ngantuuuuuk sayaaang.”
Dengan mata masih terpejam, Wage mencoba meringkuk kembali sambil memeluk guling gepengnya. “Bobo lagi yuk, sayang !.” Wage semakin kencang memeluk guling gepengnya, mungkin kata yang lebih tepat adalah Wage semakin bernapsu memperkosa guling gepengnya.
“Ge… Ge …, bangun Ge !.” Ibuku berusaha berkali-kali memanggilku sambil mengguncang-guncang tubuhku.
“Wageeeeeee … !, Wageeeeeee … !
Sementara di halaman rumah, Suara Bokapku yang seperti orang kesurupan terus berteriak-teriak memanggilku.
“Byur !.”
“Srikandi, kenapa tubuh mulus mu rasanya manis-manis pedas sih ….” Kataku di alam khayal.
“Wageeeeee !.”
Mendengar teriakan itu seperti mendengar suara meriam, aku kaget dan langsung terbangun.
Srikandi pun raib entah kemana?. Srikandi !, Srikandi, Oh … jangan tinggalkan aku !.
Karena tidak sabar melihat cara ibu membangunkan aku, Bokap masuk kedalam kamarku, langsung saja ia menyiramkan wedang jahe ke arah muka ku (wedang jahe yang sebenarnya telah di siapkan ibu untuk sarapanku).
“Jam berapa ini!.” Sahut Bokapku sambil menunjuk ke arah jam yang menempel di dinding kamarku.
‘Boro-boro’ mau lihat jam di dinding, membuka mata saja, susah nya minta ampun.
“Banguuuunnnn !.” Teriak Bokapku lebih keras lagi.
“I, I, iii , iya, Pak … !.” Dengan tubuh gemetar, aku pun langsung beranjak pergi ke kamar mandi.
Bokapku adalah pedagang kelontong, lumayan lengkap lah isi tokonya. Mulai dari peniti hingga pesawat terbang, he he he. Aku suka bilang ke para pelanggan kalau nama tokoku adalah : Toko LMGA (singkatan dari : Lho Mau apa aja, Gue Ada-adain).
Dan aku suka nyengir sendiri, begitu kreatifnya jiwa dagang bokapku, dengan jasa layanan antar, para pelanggannya senang karena kalau mau beli mereka tidak perlu repot-repot harus datang ke toko, cukup telepon atau sms, barang siap diantar.
Kebutuhan para langganan harus di antar secepat mungkin, kalau tidak bokapku bisa marah besar dan ngomel, “Langganan itu adalah raja, Ge!, kita harus melayaninya sebaik mungkin, jangan sampai mereka kapok dan pada kabur, gara-gara kerjamu kaya keong !.”
Bagaimana mungkin aku disamakan dengan keong ?. Persamaan yang selalu membuatku kesal. “Buat Bapak pelanggan itu adalah raja tapi buatku, aku kan bukan budaknya mereka !, Pak. “ Bantahku suatu ketika pada Bokap.
“Melayani pelanggan itu bukan budak, karena dengan melayani maka mereka akan memberi kepada kita, itu lah yang kita jual dan mereka beli, bukan cuma barang tapi juga pelayanan. “ Jelas bokapku penuh semangat.
“Bukan itu maksudku, Pak … .” Sahutku lagi.
“Apalagi ?, Ah, sudahlah, gak usah banyak berdebat, nanti malah kesiangan, Ayo cepat kamu antar. “ Perintah bokapku tegas.
Aku pun seperti kuda pedati yang dipecut baru kemudian jalan.
“Ingat, Ge !, langganan itu adalah raja !, tanamkan kata-kata sakti itu dalam otakmu yang masih beku !. Teriak Bokap padaku.
Tanpa menjawab apapun, aku pun pergi meninggalkan bokap yang masih berkacak pinggang. Aku adalah raja, aku adalah raja, aku adalah raja, kata-kata sakti ciptaanku sendirilah yang terus saja ku tanamkan ke dalam otakku sebagai bentuk pemberontakkan atas sikap bokap yang menurutku keras.
Sambil terus menggerutu dalam hati, akhirnya gerobak besi itu pun menggelinding di jalan.
Semakin banyak langgangan yang mesti aku antar akan membuatku semakin sering datang terlambat ke sekolah. Sering aku mengeluhkan masalah ini pada bokap. Bokap cuma bilang, “Salah kamu sendiri, kalau kamu bangun lebih pagi, pekerjaan mu akan lebih cepat beres dan kamu bisa berangkat ke sekolah lebih awal, jadi tidak ada alasan lagi untuk terlambat !.” Begitu selalu alasan bokap kepadaku. Dan aku tidak bisa membantahnya karena memang aku malas untuk bangun pagi.
“Ge…, Ge…., Wageeee … !.”
Dari kejauhan terdengar teriakkan suara cewe yang memanggil-manggil namaku.
Akupun segera mengenali suara cewe itu. Secepat kilat aku membuang muka, topi pandan yang ku kenakan semakin ku kencangkan tapi tetap saja rambut kriboku gak bisa diajak berdamai, rambut kriboku ‘mumbul’, jadi percuma saja muka ku tetap saja tidak bisa ditutupi topi pandan itu.
“Waduuh bisa hancur deh, reputasi gue !.”

Bersambung ….

Bogor, 19 Agustus 2010
wans_sabang
 



The Time Tunnel

Seandainya mesin lorong waktu, The Time Tunnel bisa mengantarkanku kembali ke masa dua puluh tiga tahun yang lalu.di bulan juli. Aku akan memilih untuk terdampar pas di hari ulang tahun seorang gadis yang ku suka waktu di SMA dulu, Maribeth nama nya.

Sebelum masuk ke The Time Tunnel, aku harus mempersiapkan segalanya untuk memberikan ‘surprise’ pada Maribeth. Aku akan beli bunga mawar, yang merah atau yang putih?, aku pilih yang putih nampak lebih anggun pada saat ku berikan nanti.

Kalau bunga mawar putih susah nyarinya, pikirku yang warna merah juga gak apa-apa. Kalau bunga mawar yang asli juga gak ada, bunga mawar yang plastik OK juga sih, tapi harus ku semprot dulu pakai parfum Gatsby kesukaanku, kalau parfum kesukaanku itu sulit ditemukan karena aku sering sembarangan menyimpannya, di semprot pakai pengharum ruangan juga sudah cukup, yang pentingkan harumnya.

Dengan mengenakan Tuxedo, aku berharap aku akan lebih Percaya Diri ketika bertemu dengan Maribeth.

The Time Tunnel berhasil mengantarkan ku tepat di depan pintu rumahnya. Setelah pintu ku ketuk, ku berharap yang muncul bukan ‘bokap’ nya yang kaku atau ‘nyokap’ bule nya yang jutek banget. Harapanku terkabul, Maribeth muncul di hadapanku dengan mengenakan gaun pesta warna pink yang menambah manis wajahnya yang bule ‘innocent’ itu. Sungguh serasi dengan setelan pakaian Tuxedoku.

Setelah melemparkan senyum ku yang paling ‘imut-imut’, Maribeth pun membalas pula dengan senyum nya yang memabukkan sambil mempersilahkan aku masuk. Baru sekali menerima senyumnya saja sudah membuatku sempoyongan, bagaimana kalau ia tersenyum padaku seratus kali, bisa masuk rumah sakit aku di buatnya.

Seorang pembantu, membawakan secangkir minuman panas dan sepiring ‘roti sumbu’ untuk di hidangkan padaku. Begitu hidangan tersebut diletakkan di depanku, Mata Maribeth melotot melihat hidangan itu, “Bi, gimana sih, itukan singkong rebusnya Papa, kok di bawa kemari !.” Sahut Maribeth dengan wajah malu kepada bibi pembantunya.

“A…anu, Non … tadi kan non Maribeth bilang minta dipisahkan buat non Maribeth juga, jadi bibi bawain saja singkong rebus nya sekalian kesini.” Sahut Bibi nya mantap.

He…he…he …, ternyata gadis kesukaanku, suka juga dengan singkong rebus, ternyata selera nya gak jauh beda, semula ku pikir seleraku dan Maribeth akan jauh berbeda bagaikan ‘singkong dan keju’. Itu lah selalu yang membuatku minder, karena Maribeth anak orang kaya dan aku : ‘anak singkong’, he…he…he…, maksudnya orang tua ku tidak lah sekaya orang tua nya Maribeth.

“Ouugh God !, Bibi ini bikin malu saja !, sudah bawa semua hidangan ini kedalam !, ganti dengan ‘orange juice’ dan ‘apple pie’ yang tadi mama bikin.” Jelas Maribeth kepada bibi pembantunya.

Bibi pembantu cuma melongo mendengar penjelasan Maribeth, sambil berlalu pergi ke dapur ia menggerutu, “Duh nama nya saja sudah bikin bingung, apa lagi makannya nanti!.”.

Setelah bibi pembantu pergi, aku pikir sekarang lah saat yang tepat untuk bilang ‘I love You’ pada gadis kesukaanku. Dengan Percaya Diri yang ‘di tinggi-tinggi’kan, aku pun membenarkan letak dudukku di kursi nya yang empuk. Badan ku ditegapkan, lalu kemudian ku serahkan setangkai mawar putih itu pada Maribeth.

“Oh, my God, it’s so sweet ….” Mata Maribeth melotot senang memandangi setangkai mawar putih yang ada di tangannya.
“Maribeth, bunga ini ku persembahkan sebagai ….” Belum sempat ucapanku selesai, tiba-tiba saja ‘bokap’ nya yang kaku dan ‘nyokap bule’ nya yang jutek datang menghampiri kami.

Bokap dan nyokap nya duduk di samping Maribeth.

Ya, ampun … kiamat sudah dekat !, gusarku dalam hati.

Bokap nya pun akhirnya mendominasi pembicaraan kami, sedangkan nyokap nya sedikit bicara tapi lebih banyak mencibir mendengar pembicaraan kami bertiga, aku, Maribeth dan bokap nya. Apalagi kalau sedang membandingkan antara prestasi sekolahku dengan Maribeth, huh !, serasa masa per’plonco’an hadir kembali.

Keringat sebesar jagung, mulai nongol di keningku. Rasa Percaya Diri ku pun seketika runtuh. Istana Percaya Diri ku yang kubuat dari pasir, habis di terjang ombak lautan yang ganas. ‘Saved by the bell’, Maribeth pun akhirnya memahami kegelisahanku.

“Papa Mama, sudah siang ini, bukannya Papa dan Mama mau shopping?.” Kata Maribeth setengah mengusir Papa dan Mama nya.
“Bagaimana, Ma … jadi ke PI* mall ?.” Tanya Papa kepada Mama.
“hmm, it’s OK … kita berdua saja?, Maribeth?.” Sahut Mama kepada Papa dan Maribeth.
“Ma, Maribeth gak ikut, Maribeth kan sedang ada teman.” Jelas Maribeth sambil memohon.
“Sudahlah, Ma … kita pergi berdua saja, nanti kalau Maribeth mau, dia juga bisa nyusul kita.” Jelas Papa kepada Mama.

Bokap dan nyokap nya Maribeth pun akhirnya bangkit dari duduk nya. Sebelum mereka berlalu, “mmm … I think (berfikir sebentar), Maribeth, Papa dan Mama gak mau kamu pacar-pacaran, karena kamu masih sekolah, Maribeth !.” Kata nyokap nya kepada Maribeth.

“Yes, Mama … Maribeth juga masih ingat itu, Maribeth gak bakalan lupa pesan Mama, OK ?: Jelas Maribeth berusaha meyakinkan Mama nya.

Tiba-tiba saja, “And You !.” Telunjuk nyokap nya yang runcing hampir saja menusuk mata ku. “You, bukan pacar nya Maribeth kan?, You cuma teman sekolah nya Maribeth kan?.”
“I … iii, iya, tante … saya cuma teman sekolahnya saja kok !, he…he…he .. .” Aku berusaha ‘nyengir’ untuk mengusir ke gugupanku di todong oleh nyokapnya Maribeth seperti itu.
“Huh !.” Dengan Jutek nyokap nya meninggalkan kami berdua, kemudian di ikuti oleh bokap nya yang kaku.

Hatiku yang sedari tadi di panggang api neraka serasa di siram air es, nyess !. Perlahan namun pasti aku mulai membenahi istana Percaya Diriku kembali.

Suasana sepi tinggal aku dan Maribeth saja. Hatiku gembira menyanyikan lagu sorak-sorak bergembira, bergembiralah semua, sudah bebas negeri kita … Indonesia merdeka. Hatiku terasa seperti baru terbebas dari penjajahan. Nah, ini lah saat yang, it’s now or never, sekarang waktu nya ngomong atau tidak sama sekali.

“Maribeth, …menyambung pembicaraan aku tadi ….” Jelasku terbata-bata.
“Ya …. Memangnya kamu mau ngomong apa?.” Tanya Maribeth padaku.
“Bunga mawar pemberianku tadi … sebenarnya adalah sebagai ungkapan kalau aku ciiiiinnn ….”

Timer The Time Tunnel berbunyi sebagai tanda kalau masa aku di bulan juli tahun 1987 telah habis. Secepat kilat, mesinnya menyedotku kembali, berputar-putar cepat kemudian melemparkan ku ke bulan januari tahun 2010 di sebuah restauran.

“Pa … Pa … Pa ….” Istriku berusaha menyadarkanku. “Pa, Papa, kenapa sih?.”
“Hah !.” Aku kaget. Tadi aku benar-benar tak sadarkan diri.
“Papa, kenapa?, Papa sakit …?.” Tanya Istriku sambil menempelkan tangannya ke keningku.
“Oh, O … O, gak, gak kok Ma ..Papa gak sakit kok, Ma.” Sahutku gugup.
“Kalau gak sakit, kenapa gurame goreng dan karedok nya gak dimakan-makan, Pa?.” Tanya Istriku yang bawel lagi.
“I, I, I, … iya, ini mau dimakan, Ma …!.” Aku berusaha melahapnya dengan cepat.

Akhirnya istriku pun kembali sibuk menikmati sayur asem dan sambel cobek nya. Aku pun ikut menikmati hidangan yang ada di mejaku. Gurame goreng di cocol sambel cobek dan karedoknya yang pedas mempercepat pulihnya kesadaranku.

Di sudut taman, nampak kedua anakku dan kedua anak nya Maribeth sedang asyik bermain ayun-ayunan dan permainan anak-anak lainnya. Di dekatnya nampak pula Maribeth dan suaminya, mengawasi mereka sambil tertawa gembira.

Dari jauh Pandangan Maribeth sesekali tertangkap mata ku, dia tersenyum, aku pun membalas senyumnya. Suami Maribeth pun ikut tersenyum dan tidak mau ketinggalan, istriku dengan mulut masih dipenuhi makanan, ikut tersenyum pula.

Suasana yang meriah, ternyata bukan hanya ada keluarga ku dan keluarga Maribeth saja yang hadir di restauran taman ini. Keluarga teman-teman SMA ku pun banyak pula yang hadir karena kami sedang mengadakan acara Reuni bersama teman-teman semasa SMA dulu.

Seandainya, The Time Tunnel bisa mengantarku kembali ke masa itu … dan aku bisa mengungkapkan seluruh perasaan cintaku yang dulu pada Maribeth …

Hush!, aku berusaha menepis itu semua. Maribeth nampak bahagia bersama keluarga nya. Aku pun bersyukur kalau aku juga tak kalah bahagianya, bersama istri dan kedua anak-anakku.




Jakarta, Januari 2010

wans_sabang

surat-surat diam ku yang membatu


(surat-surat diam ku yang membatu)
Istriku,
mari lah kita duduk di antara bulan
dan kesyahduan bintang-bintang



tenggelam di kelam malam,
tanpa serta sepatah kata
hanya duduk dan saling diam



menemani perginya malam ...
(inilah duduk dan saling diam yang begitu indah karena kita t'lah sama-sama mengerti bahwa semua persoalan hidup akan dijernihkan dan digenapkan oleh sang waktu)


Kasih,
bagai berdzikir ku baca surat-surat diam mu
surat-surat yang kau tulis dengan air mata

Istriku,
ketika waktu t'lah terbaring hening
kisah kasih kita nanti tinggallah sketsa
memudar meredup begitu saja


bersama bintang yang tenggelam dan langit pun kosong ...

Kasih,
di atas tanah merah ini ku kubur surat-surat diam mu
surat-surat diam mu yang membatu

dan yang tersisa kini tinggallah pusara
bernisankan cinta

Istriku

walau t’lah tiada
kenang-kenang kan lah aku …

kasih,
kau kan s’lalu ada
di setiap pori-pori jiwaku




”surat-surat diamku yang membatu” terinspirasi oleh seorang suami yang membuat sekumpulan surat-surat cinta untuk istri nya.

Surat-surat yang tidak pernah ia kirimkan pada istrinya karena sesuatu hal.
Dan sang suami berharap suatu hari kelak ketika ia telah tiada, sang istri akan membaca kumpulan surat-surat cinta nya agar sang istri tahu kalau ia benar-benar mencintainya.






wans_sabang

LAKON

LAKON
bisa di artikan sebagai gerak laku sesorang yang memerankan sebuah adegan, bagian dari sebuah kisah sebuah episode.

Kalau dunia ini adalah sebuah film dan setiap orang masing-masing akan mendapatkan sebuah peran yang harus dilakoni sesuai dengan skenario yang diberikan kepadanya. Apakah kita boleh memilih peran apa yang sesuai dengan kemauan kita sendiri?.
Kalau boleh memilih, lantas siapa yang mau memerankan lakon susah, sedih dan menderita?. Jawabannya adalah pasti tidak ada orang yang mau, semua orang mau nya mendapat peran untuk melakoni lakon senang, bahagia dan gembira.
Seperti apa film jadi nya?, kalau cerita nya hanya mengisahkan lakon senang, bahagia dan gembira saja. Film tersebut akan sewarna dan seragam. Tidak adanya perbedaan dan tentu nya tidak akan ada konflik, tentu saja film tersebut nantinya akan menjemukan dan membosankan, kisahnya hambar dan tidak bisa di nikmati.

Sebuah film sejatinya menceritakan sebuah kisah yang tidak sewarna dan seragam karena kisahnya nanti  akan monoton, adanya perbedaan yang dapt menimbulkan konflik, kisahnya akan semakin variatif dan hidup seperti memiliki ruh, kisahnya dapat membuat kita tertawa terbahak-bahak atau menangis tersedu-sedu.

Cerita demi cerita di dalam film tersebut akan bisa memabukkan bahkan sampai enghanyutkan, menimbulkan rasa penasaran dan penonton akan sukar untuk menebak akhir dari cerita itu.




Setelah aku di beri segelas minuman oleh pemuda simpatik di sebuah acara pesta ulang tahun temanku.

Palu godam serasa meninju kesadaranku, perlahan detak jantungku melemah, tulang-tulangku tiba-tiba saja  bagai hantam dingin yang hebat, seketika itu juga tubuh ku ambruk tanpa daya.

Tidak ada lagi yang bisa ku ingat, aku coba merangkai sebuah puzzle berantakan yang ada di dalam rak memoriku, ku coba susun walau terasa pedih, hingga menjadi sebuah gambar yang utuh.

Sial!, ternyata ini bukan mimpi!.
Apa yang telah di lakukan pemuda simpatik itu terhadap ku?, aku berusaha menepis angan buruk yang hendak melintas cepat menyergap kewarasanku.
Tidak mungkin!, Tidak mungkin!,
Oh, Tuhan apa yang telah terjadi?.

Secepat kilat aku menyambar selimut untuk menutupi tubuh telanjangku.

Pikiranku masih saja membela kewarasanku yang terusik. Tidak mungkin!, Tidak mungkin ini terjadi!, begitu kuatnya kata-kata itu ku teriakkan di dalam benakku.

Baju pesta, Beha dan celana dalamku yang berserakan begitu saja di lantai akhirnya membunuh kewarasanku. Oh, Tuhan !. Apa guna nya teriak dan tangis histerisku?.
Pemuda simpatik itu telah memperkosa ku.
Tuhan kenapa aku tidak mati saja!.

Jarum detik tak bergerak lagi. Ruang pun kini tak berdimensi lagi.
Waktu ku tersedot ke angka nol, detik nol, menit nol dan jam nol.
Ruang jiwaku kini adalah ke kosongan tak bertepi.

Gunting yang ku ambil dari laci lemari rias telah menggantikan peran Tuhan yang sudah tak ku percaya lagi.

Darah mengalir, aku berhasil memotong urat nadiku. Semakin banyak darah yang keluar, tubuh ku pun semakin lunglai. Aku tersenyum menikmati sakit demi sakit. Ternyata setan yang sedari tadi hanya membisik-bisikkan saja padaku, kini dengan berani ia berdiri di hadapanku. Ia tertawa terbahak-bahak mengejekku, sambil dengan isyarat jari tengah ku acungkan di depan mukanya, walau lirih aku katakan padanya, "Fuck You!."

Dan aku kini telah menjadi sesuatu yang baru ... ya cuma sesuatu bukan seseorang..


Suatu Malam di  Cafe Down Town

Masih ku ingat ketika tubuh atletisku menindih menempel ketat di tubuh nya, tangan kekar ku memaksa angkat baju pesta dan BH nya kemudian ku lemparkan sembarangan. Celana dalamnya pun ku peloroti kemudian ku buang. Sesaat mataku menikmati tubuh telanjangnya.
Tanpa perlawanan  karena sebelumnya aku telah menaruh obat tidur dengan dosis tinggi ke dalam gelas minuman yang ku berikan pada nya.
Dengan bernapsu aku memperkosanya. Oh, my God, masih perawan!. Dengan susah payah akhirnya kenikmatan itu dapat ku tuntaskan. Gadis itu pun ku tinggalkan begitu saja bagai seonggok sampah.

Mungkin begitu lah maksud sebuah film di buat dan setiap orang masing-masing akan mendapatkan peran yang berbeda-beda dari sang Sutradara. Suka atau tidak, kita tidak bisa memilih dan kita hanya harus memerankannya dengan sebaik-baiknya.

Musik blues malam ini begitu biru, ku hisap rokok putihku untuk mengusir resah. Ku lihat tinggal setegukkan lagi whiskey cola ku. Aku tersenyum memandangi gelas itu. Ini sudah gelas yang ke tujuh, butuh berapa gelas lagi agar aku bisa mabuk dan melupakan semua yang pernah terjadi?. Akhirnya ku reguk juga, sisa whiskey cola itu ...
Sebelum habis ku reguk whiskey cola itu tiba-tiba  saja dari arah belakang terdengar ledakkan sebuah pistol. Bunyinya begitu memekakkan telinga. Ternyata pistol itu memang benar mengarah ke kepalaku.dan dengan tepat  dan cepat menghamburkan otak yang ada di kepalaku.

Akhirnya hanya dengan sebuah peluru aku benar-benar bisa melupakan semuanya, semua yang  pernah terjadi pada gadis itu.

Esok pagi nya di halaman sebuah koran termuat berita : SEORANG JENDERAL MENEMBAK  PEMERKOSA ANAK GADIS NYA HINGGA TEWAS.



diambil dari kisah : Ros, Jakarta, medio 2005
wans_sabang